05 Juni 2009

pamitan

Assalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh.

Halo kawan-kawanku, bagaimana kabar Anda semua?

Posting kali ini singkat saja. Untuk sementara saya pamit, off dari dunia blog. Bukan apa-apa, saya harus melaksanakan tugas pemeriksaan di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Tugas akan saya mulai insya Allah pada hari Selasa, 9 Juni 2009. Jadi, harap maklum kalau Anda berkunjung ke blog ini, tidak ada penambahan artikel.

Bisa jadi karena saya akan sibuk sekali, sehingga tidak ada waktu untuk update artikel, atau memang tidak ada koneksi internet.

:blush:

Mohon doanya juga dari kawan-kawan semua agar saya dapat menunaikan tugas dengan baik dan bisa kembali dengan selamat.

Nantikan juga catatan perjalanan saya di Mamuju.

Salam sukses,
Wassalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh

:wave:
Makin lanjutkan makin baik...

27 Mei 2009

mari bicara tentang pembangunan

Oke, sekarang saya tidak sedang jalan-jalan. Akhir bulan harus ada penyesuaian. Tidak jalan-jalan, tapi tetap berjalan. Alias melakukan perjalanan. Dari kos ke kantor, kembali ke kos. Maklum, belum punya kendaraan, jadi tetap berjalan.

Ngomong-ngomong soal blogging, saya kemarin sempat puter-puter di dunia blog alias blogodwipa. Banyak yang menyatakan bahwa membangun sebuah blog, tidak bisa dilakukan dengan metode pembangunan Candi Sewu oleh Bandung Bondowoso. Hanya semalam, dengan bantuan jin, dan masih ngutang satu candi pula. Membangun blog ibarat membangun sebuah rumah. Harus dimulai dari pondasi, dari bawah, dst.

Nah, kali ini, saya tidak akan berkisah pembangunan sebuah blog, pembangunan Candi Sewu (minus satu), pembangunan jangka menengah lima tahun, atau pembangunan jangka panjang dua puluh lima tahun.
Biarlah pembangunan Candi Sewu kita serahkan pada Bandung Bondowoso saja. Pembangunan blog kita serahkan pada ahlinya, semacam Mas Hengky, Mas Haris, Mas Candra, Mas Habibie Reza, dan kawan-kawan. Sementara, pembangunan lima tahun mendatang, kita serahkan saja kepada presiden yang terpilih.

Oke, cukup basa basinya, lanjutkan!

Kali ini kita belajar membangun rumah berlantai dua saja.
Saya ambil sampel "rumah tetangga kos saya yang direncanakan berlantai dua".
Jadi, beberapa minggu terakhir, di sebelah kos saya,di rumah tetangga saya, terlihat banyak kesibukan. Nah, rumah tetangga saya ini, rencananya akan dibuat menjadi dua lantai. Siang, malam, tak kenal waktu, Pak Tukang merenovasi rumah, dan membuat penyangga di lantai satu.

Akhirnya, tiba saat-saat yang dinantikan. Di suatu siang yang cerah, saya dikagetkan dengan kedatangan tiga truk besar pengaduk semen, dan sebuah truk selang semen.
Saya pikir, sedang terjadi penyerbuan constructicon (anak buah Megatron dalam kartun Transformer).
Dan, siang itu terjadi kejadian penyemprotan semen di "calon lantai dua" rumah tetangga saya. Istilah orang Jawa "nge-dak".
Bukan masalah "nge-dak"-nya yang akan saya angkat di sini. Mengapa "hanya" untuk me"nge-dak" rumah "yang hanya" sebesar ini sampai dibutuhkan tiga truk pengaduk semen dan sebuah truk selang semen?
Bukankah ini sama dengan "membunuh nyamuk dengan basoka", pemborosan, atau show of power?
Tidak pernah saya lihat di Jawa, orang membangun rumah dengan mengerahkan truk-truk sebanyak itu. Begitu juga teman saya dari Medan, heran dengan metode pembangunan baru seperti ini.
Usut punya usut, ternyata, memang beginilah cara orang Makassar membangun rumah. Hmmm, "lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya." Lain-lain budaya orang di negeri ini. Bersyukur saya dapat pengalaman baru.










Dan sepertinya, membangun rumah dengan cara seperti ini lebih cepat. Lebih cepat lebih baik,
bukan?

Ah, andai saja Bandung Bondowoso kenal dengan persewaan truk ini, tidak akan ada Roro Jonggrang jadi patung.
Makin lanjutkan makin baik...

19 Mei 2009

wisata ke Pulau Samalona sama saya

Kali ini, kembali saya mengadakan perjalanan. Ya, perjalanan. Bukankah hidup ini sebuah perjalanan? Perjalanan kali ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Kali ini bukan sekadar keliling kota. Kami (ya, “kami” karena beramai-ramai) keluar Pulau Sulawesi, menuju gugusan pulau kecil di sekitar Pulau Sulawesi. Yah, semacam Kepulauan Seribu bagi Jakarta.

Tujuan kami kali ini ke Pulau Samalona. Pulau Samalona berjarak sekitar 20 menit perjalanan laut menggunakan perahu bermesin tempel. Cukup mahal kami menyewa perahu. Untuk menyewa dua buah perahu saja, kami menghabiskan Rp650.000,00. Mungkin kami kurang bisa menawar. Sebagai informasi, rekan-rekan saya bisa menyewa sekitar 280-300 ribu per perahu. Saran pertama saya, pintar-pintar lah menawar.

Berangkat lah kami berenam belas. Ya, enam belas orang dalam dua perahu, atau delapan kepala per perahu. Perahu tidak bisa diisi lebih dari sepuluh jiwa, karena terlalu berisiko. Perjalanan yang cukup menyenangkan. Hembusan angin laut, kapal patroli polisi perairan, dan ternyata, air laut di sini sama-sama asin. Heran juga saya, di mana-mana air laut rasanya kok sama ya?

Tibalah kami di Pulau Samalona. Pasir putih, biru dan beningnya air laut, rindangnya pepohonan, menyambut kami. Turun dari perahu, kami disambut penjual jasa rumah singgah. Sedikit cerita menarik, penjual jasa yang ibu-ibu sempat marah dengan saya, ya saya sendiri. Masalahnya, waktu ditawari, saya diam saja. Bukan apa-apa, saya tidak paham bahasa si Ibu. Soalnya dia bicara dalam bahasa lokal. Sedangkan saya ngiseng sekede-sekede (hanya tahu sedikit saja) bahasa Makassar. Saran kedua saya, kalau Anda tidak bisa bahasa lokal, gunakanlah logat asli Anda, agar mereka paham, Anda bukan penduduk lokal.













Setelah bernegosiasi, tercapailah kata sepakat kami menyewa rumah singgah Rp200.000,00. Rumah itu kami gunakan untuk meletakkan barang-barang bawaan kami. Tidak menunggu lama, saya segera mencari persewaan alat snorkling. Biaya sewa hanya Rp20.000,00 per sepuasnya. Segera ganti baju, celana, pasang alat snorkling, nyebur. Asyik juga snorkling. Benar-benar menyatu dengan alam. Ikan-ikan kecil hilir mudik, terumbu karang (yang sayangnya) rusak, air jernih tapi asin, sinar matahari cerah membakar kulit. Semakin ke tengah, semakin indah saja, ikan-ikan lebih banyak, terumbu karang mulai indah, lebih dalam. Namun tidak saya teruskan. Sederhana saja, saya tidak ingin kesasar ke Kalimantan.
Acara selanjutnya, berjemur. Memanaskan kulit hitam saya agar lebih hitam, tanpa manis. Bermain pasir, dan (lagi-lagi) asin air laut. Dan, akhirnya berkeliling pulau. Tak disangka tak dinyana, ternyata ini pulau kecil sekali. Hanya seluas 2-3 lapangan sepakbola. Cukuplah waktu 5-10 menit keliling pulau nan indah ini.

Pulau Samalona, dimiliki oleh tujuh orang leluhur. Nama-namanya saya tidak hapal. Sekitar 30-40 KK mendiami pulau ini. Tiada kendaraan bermotor, jalan aspal, dan keramaian. Hanya desir ombak dan angin laut membelai lembut pulau kecil ini.
Selesai berkeliling, mandi. Ternyata, mandi juga dengan air tawar tapi asin alias payau. Sama saja, masih asin juga. Baru sadar ternyata, kulit saya memerah karena terbakar. Saran ketiga saya, pakailah sunblock, bagi Anda yang memedulikan penampilan.

Di pulau ini, hanya ada satu warung makan. Dan, sayangnya lagi, makanan yang dijual hanya mie instan. Kalau Anda ingin makan “normal”, siapkan uang Rp200.000,00 pengganti biaya masak ikan bakar. Terlalu mahal bagi turis lokal seperti kami. Saran keempat saya, bawalah makanan dari Makassar, bagi Anda yang ingin lebih hemat.

Siang sampai sore, sambil menunggu perahu jemputan datang, kami habiskan waktu menikmati hembusan angin di sisi timur pulau ini, sisi yang menghadap Teluk Losari, Makassar. Sekitar pukul 15.00 WITA, perahu penjemput kami datang, dan menyarankan untuk segera pulang, karena angin semakin kencang, dan pasang semakin tinggi. Jika Anda ingin menikmati sunset dan sunrise, saran kelima saya, datanglah pada siang selepas tengah hari, lalu bermalam, dan kembali ke Makassar keesokan harinya.










Perjalanan yang menyenangkan, pengalaman baru, petualangan baru menjelajahi dunia bawah air. Maaf, tidak ada dokumentasi untuk alam bawah air. Kebetulan baterai camdig saya sedang habis saat itu. Hanya sempat mengabadikan lingkungan pantai saja.

Pulau Samalona, Pulau Wallpaper











Ke mana lagi ya, setelah ini?

Makin lanjutkan makin baik...

14 Mei 2009

hampir tertipu oleh penipuan gaya baru

Tadinya saya sedikit enggan posting cerita ini. Namun saya rasa, penting juga untuk mengabarkan kepada Anda semua. Terutama Anda yang belum mengalami hal ini. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Hari Senin, 11 Mei 2009, kantor kami, BPK RI Perwakilan Prov. Sulawesi Barat mendapat fax dari (ngakunya) Depkeu dengan kop surat Dirjen Perbendaharaan. Isinya adalah undangan untuk mengikuti Bimbingan Teknis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Bimtek PBJP) pada tanggal 18-19 Mei 2009 di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Keesokaan harinya, Selasa, 12 Mei 2009, saya ditunjuk untuk mengikuti Bimtek tersebut. Senanglah hati saya, bisa terbang lagi ke Jakarta. Sore harinya, data diri saya fax kembali ke nomor di kop surat tersebut.
Rabu, 13 Mei 2009, saya akhirnya konfirmasi ke nomor yang tercantum pada surat atas nama Bpk. H. Marwan Nugroho, dengan nomor ponsel 085881666742. Percakapan awal terasa lancar. Namun, beberapa saat kemudian, terjadi keganjilan, sebagai berikut:
  1. Tidak ada pendaftaran via fax, pendaftaran hanya via ponsel;
  2. Tidak ada surat pemanggilan bagi peserta Bimtek;
  3. Biaya Bimtek 10 juta rupiah ditransfer ke rekening; (10 juta untuk 2 hari?)
  4. Waktu saya tanya tentang acara, malah orangnya sewot. Biasanya panitia orangnya ramah.
  5. Orang tersebut memaksa saya menyerahkan nomor rekening, dan uang hanya bisa ditransfer ke rekening dengan saldo minimal 3 juta rupiah. Padahal saldo saya tinggal 1 juta (:tersenyum getir)
  6. Akhirnya saya pinjam rekening teman kantor yang saldonya 4,9 juta.
  7. Di ATM, waktu mau cek apakah transfer sudah masuk, saya malah disuruh menekan tab ‘transfer’. Untung sebelum itu sudah ditelepon orang kantor untuk membatalkan transaksi, karena itu adalah penipuan berkedok baru.
  8. Pada akhirnya, ketika saya tanya, “Loh, kok transfer Pak? Bukannya saya harus menerima transfer?” eh, orangnya langsung tutup dia punya telepon. Waktu saya cek, nomornya sudah tidak aktif lagi.

Alhamdulillah
, tidak jadi tertipu.


Seketika itu juga, satu kantor saya langsung gempar. Tidak menyangka ada penipuan dengan modus operandi baru. Setelah ditelaah oleh Kasubag SDM, Hukum dan Humas kami, memang ditemukan beberapa kejanggalan dalam surat tersebut. Salah satunya, kalimat “Perpres 95 tahun 2007 sebagai Perubahan Keempat Keppres 80 tahun 2003, dst.” Padahal, seharusnya adalah “Perpres 95 tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Keppres 80 tahun 2003, dst.” Ini adalah kesalahan yang fatal, karena salah dalam mencantumkan dasar hukum. Mana mungkin departemen sebesar Depkeu salah mencantumkan dasar hukum? Kejanggalan-kejanggalan lain rasanya tidak perlu saya ungkapkan lebih lanjut.

Sebenarnya ini bukan kasus pertama. Sebelumnya kasus ini pernah terjadi di Samarinda dan Jawa Barat (sesuai berita), di daerah lain juga pernah terjadi. Bahkan mungkin Anda pernah mengalami.

Terlepas dari ada tidaknya Bpk. H. Marwan Nugroho, atau orang tersebut memang dicatut namanya, dan tanpa bermaksud menyudutkan Dirjen Perbendaharaan akan adanya oknum dari dalam, kasus ini layak dicermati. Sebaiknya, mulai saat ini, periksalah kembali surat atau fax yang masuk ke kantor Anda. Atau, buat SOP tentang surat masuk. Termasuk juga, periksa ejaan dalam surat tersebut.
Pada akhirnya, saya hendak meminta maaf pada Mas Guntur, karena hampir tertipu gara-gara saya. “Nyuwun ngapunten nggih, Mas.”

“skeptisme profesional, bukan curiga, bukan pula percaya membabi buta” (Zulfikar Rizky, BPK RI Pwk. Prov. Sulteng)

Makin lanjutkan makin baik...

11 Mei 2009

Sore di Fort Rotterdam

Percayakah kawan, kadang kita nyeletuk ternyata dikabulkan? Seperti saat saya mengatakan, “Nif, aku temenin di Mamuju.” Ternyata, fayakun. Begitu pula kejadian sore itu, saya sempat berpikir, “Oh iya, di Makassar kan ada Fort Rotterdam, tempat pengasingan Pangeran Diponegoro. Kapan ya, bisa ke sana?” Tiba di kos, ketemu si Yonas, “Ayo, ke Rotterdam!” Apakah ini mimpi? Oh, tidakmi. Ini betulan.

Akhirnya, jadi juga saya ke Fort Rotterdam. Sekarang lebih ramai. Sekitar 10 orang. Bareng teman kosan, dan beberapa teman dari tetangga kos. Sama-sama BPK juga sih. (Lagi-lagi, sayang sekali) minus Aji.
Tiba di Fort Rotterdam, kesan pertama, keren! Tidak ditarik bayaran, cuma ngisi buku tamu. Bagus, bagus. Saya senang. Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang dibangun tahun 1545 oleh Kerajaan Gowa Talo. Dulunya sih, dibuat dari tanah. Di benteng ini pula, Pangeran Diponegoro diasingkan hingga akhir hayat beliau.Ramai sekali orang-orang berkunjung. Entah melancong seperti kami, pacaran, berfoto untuk pre-wedding, atau sekadar melihat sunset dari atas benteng. Ya, benteng ini menghadap persis ke laut. Bangunan-bangunan yang megah, dan ruangan-ruangan gelap nan mistis. Tidak sanggup saya bayangkan bagaimana Pangeran Diponegoro menjalani hari-hari terakhir dalam hidupnya di tempat ini. Semoga Allah membalas amal kebaikan beliau dengan surga-Nya. Amien.Sayangnya sore itu, bangunan yang menyimpan dokumen sejarah tidak dibuka. Sayang sekali, padahal banyak yang bisa dipelajari di sini. Tidak hanya sekadar jeprat-jepret sana-sini. Setelah berkeliling, pergilah kami menghambur ke pantai yang berjarak kurang dari 100 meter. Melihat nelayan berangkat melaut, anak-anak kecil berenang, dan berburu gonggong (siput kecil). Ah, damai sekali melihat wajah-wajah penerus negeri ini. Saya doakan kalian bisa melebihi sukses Pak Habibie dan Pak Jusuf Kalla, dek.Tidak seperti saat saya bersama Hanif, kali ini sunset bisa juga kami abadikan dalam kamera digital. Subhanallah. Indah sekali langit sore itu.Semakin lama, semakin saya mencintai kota ini.

“berbagi waktu dengan alam
kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya
hakikat manusia”

Makin lanjutkan makin baik...